Tak henti-hentinya saya mengucapkan kekaguman atas ciptaan Allah yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Bagai anak ayam yang baru keluar dari kandangnya, rasanya saya ingin berlarian ke sana kemari di tengah hamparan padang pasir dan savanna.
Begitulah yang saya rasakan tatkala pertama kali berkunjung ke Bromo, tempat wisata yang bagaikan magnet telah menarik wisatawan untuk datang. Jakarta, Bali, Jogja, bahkan dari Perancis, adalah beberapa orang asing yang saya temui kala itu, Minggu, 14 Januari 2018.
Entah mimpi apa, Bu Dewi tiba-tiba menawari saya untuk menemaninya ke Bromo. Tanpa babibu,langsung saja saya terima tawarannya. Saking happynya saya sampai lupa mendata barang apa saja yang harus saya bawa, maklum ini perjalanan pertama saya ke gunung jadi ada beberapa yang tertinggal.
Daftar Isi
Perjalanan Menantang
Seperti biasa, saat akan traveling apalagi ke tempat yang belum pernah terjamah, saya cenderung penasaran dan sulit tidur. Hahaha, kebiasaan ini sudah sejak kecil dan belum bisa hilang. Apa berarti saya akan ngantuk di perjalanan? Tentu saja tidak karena traveling itu selalu menyenangkan, hihuhihu.
Pak Paring, lelaki paruh baya yang menjemput saya (kebetulan jip yang disewa Bu Dewi dekat dengan rumah saya, dan saya nggak kenal, wkwkwk) datang tepat jam 5.00 pagi sesuai kesepakatan. Kata beliau berangkat pagi lebih enak agar nggak terlalu panas saat naik ke puncak Bromo. Saya pun hanya manggut-manggut saat diberi tahu. Hati saya terlalu bahagia untuk menyela, hahaha.
Dalam perjalanan jip berhenti sejenak untuk mengambil penumpang, murid Bu Dewi yang akan menemani kami ke Bromo, namanya saya lupa. Lalu, setengah enam kami sampai di rumah Bu Dewi yang sedang menunggu bersama satu orang muridnya. Total ada empat orang penumpang dan satu supir dalam jip yang menuju Bromo. Bismillah… kami pun berangkat.
Oiya, awalnya saya pakai sandal karena sepatu saya ketinggalan di rumah ibu di Malang. Saya juga nggak kepikiran harus pakai sepatu. Alhamdulillah, sepatu adiknya Bu Dewi pas dengan kaki saya. Meskipun sebenarnya sepatunya kurang nyaman (sstt… ).
Perjalanan ke Bromo sungguh menantang, mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman berpetualang *sambil nyanyi lagu ninja hattori. Ya, memang perjalanannya seperti itu, naik turun gitu. Dalam hati saya istighfar terus, karena kabut tebal menyelimuti perjalanan kami sedangkan sisi kanan atau kiri jalan adalah jurang terjal.
Menantang sekali deh pokoknya, apalagi setelah melewati pos pemantauan. Medan semakin menantang, menyesak saya nggak foto medannya, Saya terlalu sibuk memandang sekeliling yang asing namun mengasyikkan.
Untung saja kami naik jib, karena kalau naik motor saya gak bisa bayangin melewati medan yang sulit dengan udara dingin yang menyengat. Untung aja suami nggak mau saya ajak ke Bromo berdua dengan sepeda motor. Padahal saya berkali-kali mengajaknya, tapi feeling suami selalu tepat. Untung…untung…
Pasir Berbisik
Setiba di Bromo, Pak Paring memarkir jipnya di tempat yang seharusnya. Banyak jip yang sudah berjejer rapi, “berangkat jam berapa ya mereka?” tanya saya dan tak ada yang menjawab, hahaha. Mereka sibuk mengamati lalu lalang orang.
Seperti kebiasaan saya saat traveling, hal pertama yang saya tuju adalah toilet. Apalagi kami akan menempuh perjalanan (berapa kilo ya? Sekitar dua jam jalan kaki santai) dari tempat parker jip ke puncak. Beuh… toiletnya antri puanjang dan lama book…
Dalam perjalanan ke puncak, berkali-kali ada tawaran naik kuda dan kami tolak dengan halus. Saya, Bu Dewi, dan kedua murid Bu Dewi – yang sudah lulus SMA – ingin menikmati perjalanan sambilmendengarkan pasir berbisik, hahaha. *ngeles aja padahal nggak punya uang. Salut deh pada kegigihan pemilik kuda yang menawarkan kudanya untuk naik ke puncak. Mereka menawarkan mulai dari 125 ribu hingga 75 ribu, ahahaha… Tetap saja kami tolak, untung saja nggak ada dukun yang bertindak.
Saya sangat penasaran dengan pasir berbisik. Kok hanya saya yang penasaran? Iya, soalnya Bu Dewi dan kedua muridnya sudah pernah ke Bromo dan ini adalah ketiga kalinya bagi mereka. Ternyata pasir berbisik itu suara angin yang bergemuruh meniup pasir hingga beterbangan. Saya lupa nggak bawa masker, akhirnya mulut saya beberapa kali kemasukan pasir.
Kawah Bromo
Penasaran dengan puncak Bromo, saya ingin menaklukkannya dengan berjalan kaki. Bisa? Saya yakin bisa meskipun harus berhenti setiap 5 menit sekali. Hosh… nafas saya terengah-engah, udah senin kamis aja rasanya nih nafas. Berhenti sejenak sambil mengisi paru-paru dengan udara pegunungan yang kurang segar – karena banyak kotoran kuda sepanjang perjalanan.
Sampai di bawah tangga – untuk naik ke puncak- ada sedikit kelegaan. Lalu, memandang tangga yang entah berapa jumlahnya, katanya sih belum ada yang berhasil menghitung. Gimana mau hitung kalau naiknya aja ngos-ngosan, saya hampir putus asa di tengah perjalanan karena mendengar gemuruh angin yang semakin naik ke atas puncak semakin besar. Hiiii… sereeem…
Tapi, sayang jika saya nggak sampai puncak. Apalagi perjalanan ini full disponsori oleh Bu Dewi, belum tentu juga saya bisa ke sini lagi. Akhirnya kubulatkan tekad untuk naik ke atas, untung aja badan lagi fit dan perut udah terisi beberapa biscuit sebelum naik tadi.
Bu Dewi sudah ada di atas lebih dulu, ya iyalaah… Bu Dewi langsing, beda dengan saya yang harus membawa beban tubuh yang kelebihan ini (sampai-sampai dalam hati bertekad ingin diet, hahaha). Sesampai di atas, plash… lega dan capek langsung hilang. Tapi eh tapi, kok lutut saya langsung gemetar melihat ke bawah, semua orang jadi kecil banget, melihat ke dasar kawah yang dalam.
Tangan saya berpegangan erat ke dinding, lutut tak berhenti bergetar, phobia saya kumat. Jujur, saya lupa kalau phobia pada ketinggian. Saking happynya dan pengen naik ke puncak, saya nggak ingat sama sekali kalau takut ketinggian. Alhasil, setelah cekrak cekrek upload, saya pun turun dengan lutut yang tak mau diajak kompromi. Sambil merayapi tembok, saya sampai di bawah dengan selamat. Hahaha… Lebay.
Bagi saya, naik ke puncak gunung itu seperti orang nikah, sekali saja seumur hidup. Nggak lagi deh… Yakin? Kayaknya sih iya, insyaallah.
Coba kalau ada escalator ya ditangga yang tinggi itu, pasti nggak capek. Oiya, saya jadi penasaran, siapa ya yang bangun tangga setinggi itu? *buka buku sejarah
Padang Savana
Setelah turun dari puncak kami pun sarapan di dalam jip, setelah sebelumya beli nasi di warung dekat parkiran. Tahu nggak, karena anginnya sangat kencang dan menerbangkan pasir ke mana-mana, saat makan ada pasir halus yang ada di piring. Kerana lapar, tak ada yang menghiraukannya, hihihi… Sakit perut? Alhamdulillah enggak, udah baca doa kok pas mau makan. Hehehe
Saat perjalanan pulang kami mampir di padang savanna yang terletak di selatan gunung Bromo. Sepintas, padang savanna tampak seperti bukit-bukit hijau yang menyuguhkan pesona padang rumput hijau yang terhampar luas.
Banyak pengunjung yang mengabadikan momennya disini. Tak sedikit pula yang menggunakan lokasi ini untuk foto prewedding atau berbagai keperluan lainnya. Untuk bisa sampai ke padang savanna, kami juga melewati hamparan lautan pasir yang memaksa kami untuk berhenti sejenak untuk take a picture.
Itulah perjalanan kami ke Bromo, lokasi wisata yang seakan tak pernah habis menyegarkan mata. Keindahan alamnya membuat kami ingin datang lagi dan lagi, kecuali naik ke puncak, insyaallah udah kapok.
12 Komentar. Leave new
disana dingin sekali yach Mbak ? saya blm pernah kesana, alergi dingin soalnya, hehehe…
ngk pake naik kuda yach mbak, kayak iklan di tivi itu . 🙂
Bromo udah pemandangan bagus, adem lagi yah.. Bikin pikiran lebih fresh liburan kesini hehehe..
Cheers,
Dee – heydeerahma.com
SAya ke Bromo 2013 Mbak..Tapi sayangnya enggak sampai ke atas. Anak pertama kan ada asma, di tengah jalan pas naik tangga(dia naik kuda) mulai sesak dia. Akhirnya saya nunggu di situ. Suami sama anak saya yang kecil lanjut lagi sampai puncaknya 🙂
Memang kereeeen Bromo. Pengin ke sana lagi karena sekarang asma si sulung sudah lebih baik, jarang kambuh. Semoga
Saya penasaran dengan pasir berisik.
Jujur, baca post ini, saya pribadi hanya bisa bayangin, apalagi iklan kayak di TV itu, pengen tau sih, Bromo yang sebenarnya. Semoga kapan-kapan kesampe an, #DuniaFaisol
Yeayyy mauuu banget ke Bromo ama bocil 😀
Blm kesampaian sampe skr ke bromo :). 2013 pas kliling jawa bromo itu msk dlm list kita. Tp pas sampe malang, tengah malamnya itu kita semua ga kebangun saking capeknya kmrn baru mendaki sikunir dieng hahahaha.. Akhirnya batal. Makanya aku msh masukin list bromo dlm bucket listku 🙂
Ketika melihat sunrise di Bromo, kami berangkat pukul 03.00. Jip bisa parkir di antrean paling depan hehehe. Tapi setelahnya, anak-anak saya udah ga ada yang mau nanjak. Pada ngantuk karena bangun kepagian 😀
Duh, kapan aku ke Bromo , Rek. Nunggu si kecil gedean dikit kali yak. Udah mupeng banget
Seruuu ya mbaaaak. Aku udah pernah ke bromo 3 kali tp masih pingin ke sana lagi. Kangen aja sama suasananya <3
ke san ajman masih remaja, sekarang sudah banyak fasilitas yang baru ya
bagus sekali wisata jatimpark.. banyak edukasi tentang satwa museum2 yg sangat terkonsep dengan sangat baik.. anak saya sangat suka.. sangat worthed dengan harga tiket terusan jatim 1 jatim dan ecopark. semua keren ����