Hamil adalah sesuatu yang dinantikan pasangan yang telah menikah. Saya pun senang sekali saat hamil anak pertama. Tapi, ketika hamil saya mengalami anemia defisiensi besi.
Awalnya, saya mengira jika badan lemah dan sering pusing adalah efek kehamilan. Baru deh setelah periksa tekanan darah saya dibawah 90mmHg (baiknya lebih dari 100 mmHg keatas) dan hemoglobin (Hb) saya cukup rendah. Nilainya hanya 10g/dl, sementara Hb normal wanita dewasa adalah minimal 12g/dl. Menurut dokter saya mengalami Anemia Defisiensi Besi (ADB).
Dokter pun memberikan pil penambah darah yang harus saya minum setiap hari dan menyarankan untuk lebih banyak mengonsumsi sumber protein hewani dan terutama sayuran hijau.
Nah, setelah cerita ke ibu saya tentang anemia saat hamil ini ternyata beliau juga mengalaminya saat hamil dulu. Jadi setiap hamil ibu selalu mengalami anemia. Pernah loh ibu sampai pingsan di pasar saat hamil karena anemia. Duh, serem dan bahaya donk kalau sampai tidak sadarkan diri dan jauh dari rumah.
Anemia ternyata emang menurun. Jadi ketika seorang ibu hamil mengalami anemia, bayi yang dikandungnya pun akan mengalami anemia. Saya nih buktinya.
Lalu, saat hamil saya pun kekurangan zat besi dan bisa saja kedua anak perempuan saya mengalami hal yang sama. Duh, jika mata rantai anemia ini dibiarkan saja kapan generasi Indonesia bisa sehat dan maju?
Daftar Isi
Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi
Guna meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya nutrisi dan edukasi tepat, Nutrisi untuk Bangsa mengadakan webinar melalui chanel youtube pada hari Kamis (28/1) lalu. Berjudul “Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi” webinar ini bertujuan menciptakan generasi yang sehat terurama terkait pencegahan anemia.
Acara yang digelar dalam rangka memperingati hari gizi nasional ini menghadirkan Dr. dr Diana Sunardi, MGizi, SpGK (Dokter Spesialis Gizi Klinik) dan Arif Mujahidin (Corporate Communication Director Danone Indonesia).
Berfokus pada isu anemia yang menjadi tantangan besar masyarakat Indonesia, masalah yang masih menjadi tantangan masyarakat Indonesia yaitu kekurangan zat besi. Oleh karenanya pada webinar kali ini Dr. dr. Diana Sunardi mengangkat lima masalah sebagai berikut.
- Mengapa anemia masih menjangkiti remaja, ibu hamil, menyusui, dan balita Indonesia?
- Mengapa anemia menjadi tantangan lintas generasi?
- Bagaimana gejala anemia dan dampak jangka pendek dan panjangnya?
- Bagaimana cara dan upaya pencegahan anemia kepada remaja, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita?
Mengapa Anemia Masih Menjangkiti Ibu Hamil, Ibu Menyusui, Balita, dan Remaja di Indonesia?
Pertanyaan yang sering mampir di benar saya ketika beberapa kali mengikuti webinar Nutrisi Bangsa adalah, mengapa anemia masih kerap menjangkiti balita, remaja, hingga ibu hamil dan menyusui?
Anemia adalah suatu kondisi rendahnya kadar Hb dibandingkan dengan kadar normal, yang menunjukkan kurangnya jumlah sel darah merah yang bersirkulasi. Padahal kan sel darah merah ini manfaatnya besar sekali yaitu salah satunya mengangkut oksigen ke seluruh organ tubuh.
Menurut organisasi kesehatan dunia atau WHO 2011 anemia berbeda-beda antar kelompok umur maupun golongan individu.
Misalnya, anemia pada balita 12–59 bulan adalah kadar Hb dibawah 11,0 g/dL, Anak sekolah usia 6–12 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hbnya <12,0 g/dL, sedangkan ibu hamil dianggap mengalami anemia bila kadar Hb-nya dibawah 11,0 g/dL.
Kalau saya tidak sering nonton webinar Nutrisi Bangsa mungkin saya juga tidak tahu jika ternyata angka kejadian anemia di Indonesia terbilang masih cukup tinggi. Ternyata bukan hanya saya dan ibu saya yang mengalami anemia saat hamil.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32 %, artinya 3-4 dari 10 remaja menderita anemia. Mengapa ini bisa terjadi? Banyak faktor yang menyebabkan dan diantaranya adalah tidak optimalnya asupan gizi dan kurangnya aktivitas fisik.
Wah, apa kabar saat ini dimana anak-anak memiliki aktivitas fisik yang cukup terbatas dikarenakan pandemi?

Melalui table tersebut bisa kita ketahui bersama jika proporsi anemia pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki.
Menurut Dr. dr. Diana Sunardi, MGizi, SpGK prevalensi anemia pada remaja, ibu hamil, dan balita di Indonesia cukup tinggi. Misalnya saja di Kecamatan Matraman dan sekitarnya, angka anemia defisiensi besi pada bayi usia 4-12 bulan 27,3%.
Masih berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 yang disebutkan dr. Diana, prevalensi anemia pada remaja peremuan berusia lebih dari 15 tahun dan tidak hamil adalah 22,7% sedangkan pada remaja laki-laki lebih dari 15 tahun adalah 16,6%. Prevelansi anemia terbesar ada pada ibu hamil yaitu 37,1%.
Melalui table tersebut bisa kita ketahui bersama jika proporsi anemia pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki.
Bagaimana Anemia Bisa Menjadi Tantangan Lintas Generasi?
Masalah gizi di Indonesia mulai dari balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil hingga harus menjadi perhatian. Apalagi angka anemia pada ibu hamil berkisar 37% dan pada remaja sekitar 15%. Jika berlanjut maka akan mempengaruhi angka mal nutrisi dan mengakibatkan stunting. Dimana angka stunting di Indonesia saat ini juga masih tinggi yaitu sekitar 37%
Siklus stunting berawal dari status gizi yang kurang baik pada remaja putri sehingga pada saat kehamilannya pun kurang baik. Terutama jika mengalami anemia kurang zat besi sehingga melahirkan bayi yang kurang berat badan. Nah, jika sejak bayi gizinya kurang baik akan tumbuh pendek atau stunting.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan Anemia Defisiensi Besi menjadi tantangan lintas generasi karena dampaknya yang tidak bisa diabaikan. Mulai dari fase kehamilan saja dampaknya cukup serius dan harus benar-benar menjadi perhatian.
Pada ibu hamil, ADB bisa menyebabkan infeksi, gangguan pertumbuhan janin, bayi lahir prematur, resiko pre eklamsia, kejang pada saat kehamilan, dan pendarahan pasca melahirkan. Jika berlanjut secara lama maka ibu hamil bisa mengalami gangguan fungsi jantung.
Dampak Anemia Defisiensi Besi pada anak-anak dan orang dewasa tentunya akan menurunkan daya tahan tubuh, dan infeksi meningkat. Hal ini tentu saja akan menurunkan kinerja dan menurunkan kebugaran. Akibatnya prestasi pun berkurang.
Oleh karenanya pemerintah mencanangkan upaya pendekatan masalah kesehatan berkelanjutan lintas usia baik dari remaja, usia pekerja, hingga balita dan ibu hamil, semua dibuat berkelanjutan agar mata rantai masalah nutrisi di Indonesia dapat terselesaikan.
Sejak dalam kandungan kebutuhan zat besi anak sudah harus diperhatikan. Begitu juga saat anak-anak menginjak usia balita, pertumbuhannya dipengaruhi oleh banyak hal mulai dari protein, vitamin, karbohidrat, mineral, kalsium, dan zat besi.
Bagaimana Gejala Anemia Defisiensi Besi dan Dampaknya?
Untuk bisa mengatasi dampak dai ADB ini, kita harus tahu dulu gejala yang terjadi pada penderita. Pada awalnya gejalanya sangat ringan sehingga jarang diketahui. Seperti kelopak mata pucat, kulit pucat, nafas cepat/sesak nafas, dan kelemahan otot.
Sebagai penderita anemia, saya sering merasakan gejala tersebut jika kurang asupan sayuran dan air putih. Kalau sudah sesak nafas dan mata berkunang-kunang biasanya saya segera istirahat dari segala aktivitas. Apalagi jika sedang PMS biasanya saya sampai menggigil tanpa Hb terlalu rendah.
Nah, saat anemia memburuk gejala yang biasanya dirasakan adalah sakit kepala, tekanan darah terlalu rendah, nadi cepat, dan pembesaran limpa. Jika hal ini terjadi pada ibu hamil maka bisa menyebabkan kelahiran premature dan bayi berat lahir rendah.
Oleh karenanya jika ada ibu hamil yang wajah atau kelopak matanya pucat, kurang nafsu makan, lesu dan lemah, cepat lelah, sering pusing, dan mata berkunang-kunang segeralah ke dokter. Ibu hamil pun bisa mendapatkan penanganan yang tepat dan mendapatkan suplemen zat besi yang sesuai .
Pada anak balita yang mengalami anemia defisiensi besi biasanya akan rewel, lemas, pusing, dan tidak nafsu makan. Nah, bukan karena tidak mau makan tapi karena memang tidak nafsu makan disebabkan anemia.
Biasanya memang kepentingan anak-anak ini sering terkesampingkan. Misalnya orang tua kurang berusaha untuk memenuhi gizi seimbang bagi anak. Padahal nih jika si kecil mengalami anemia maka mereka akan mengalami gangguan konsentrasi, gangguan pertumbuhan, cenderung mengantuk, dan tidak aktif bergerak.
Bagaimana Cara dan Upaya Pencegahan Anemia kepada Ibu Hamil, Ibu Menyusui, Balita, dan Remaja?
Sebenarnya penyebab kekurangan zat besi bukan hanya kekurangan gizi ya. Ada beberapa faktor juga yang mempengaruhi, seperti kehamilan dan menstruasi, pendarahan di dalam tubuh, tubuh tidak mampu menyerap zat besi, dan kehilangan darah.
Lalu, bagaimana cara dan upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah anemia defisiensi besi?
Kita lihat kebutuhannya dulu, bahwa kebutuhan zat besi pada anak-anak khususnya perempuan baik remaja maupun yang hamil jumlahnya sebenarnya tidak terlalu besar. Menurut National Institute of Health, pria dewasa rata-rata membutuhkan zat besi sekitar 8 mg per hari dan wanita dewasa 18 mg per hari.
Sedangkan saat hamil, seorang wanita membutuhkan 27 mg, tiga kali lipat dari kebutuhan pria ya.
Namun, apa tantangannya sehingga jumlah kebutuhan ini tidak tercapai?
Penyebab Anemia Defisiensi Besi yang utama adalah dari asupan makanan, serta penyebab lainnya seperti sakit kronis dan infeksi lainnya.
Dr. dr. Diana Sunardi menjelaskan bahwa konsumsi asupan pangan di Indonesia masih didominasi oleh nabati, asupan energi dan proteinnya tergolong rendah. Sehingga mendapatkan adanya defisit energi, kurang protein, dan juga kurang micronutrien
Anemia kurang zat besi juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu demografi, asupan, dan sosial.
Faktor asupan
Jika dilihat dari faktor asupan, anemia terjadi karena beberapa hal berikut.
- Asupan zat besi rendah terutama besi heme
- Asupan vitamin c yang rendah
- Konsumsi sumber fitat dan tanin yang berlebihan
- Menjalankan diet tidak seimbang
Sedangkan penyebab anemia defisiensi besi pada anak bisa disebabkan karena anaknya pemilih makanan (picky eater) sehingga kurang asupan zat besi. Bisa juga karena orang tua tidak memberikan makanan yang bervariasi, anak mengalami kondisi tertentu yang menyebabkan gangguan penyerapan, atau bisa juga karena alergi bahan makanan dari sumber besi heme.
Zat Besi Heme dan Non Heme
Apakah teman-teman pembaca ada yang belum tahu tentang zat besi heme dan non heme?
Sama donk, sama pun baru tahu setelah menonton webinar dari Nutrisi untuk Bangsa, hehehe.
Perlu diketahui bahwa zat besi heme terkandung dalam protein hewani. Zat besi heme mudah diserap tubuh meski melalui proses perubahan dulu yaitu berubah menjadi besi larut.
Untuk non heme terkandung pada sumber makanan nabati. Nah, asupannya akan ditingkatkan dengan adanya vitamin c, asam sitrat, dan komponen makanan lain. Tapi non heme itu akan dihambat oleh serat, poliphenol, fitat dan tannin, kalsium, dan zinc.
Contoh sumber zat besi heme yang berasal dari hewani, misalnya daging ayam, daging sapi, daging domba, hati ayam, hati sapi, hati domba, ikan salmon.
Sedangkan zat besi nonheme yang berasal dari nabati, contohnya bayam, wortel, kangkung, tempe, tahu, brokoli, asparagus, jamur, daun singkong, kecipir, kacang buncis.
Nah, agar zat besi tersebut terserap secara optimal, maka harus dimakan bersama makanan yang bisa meningkatkan. Misalnya menu sayuran sup wortel dan brokoli, dan menu buahnya strawberry.
Tapi jangan lupa juga untuk menghindari makanan penghambatnya juga. Misalnya dengan tidak mengonsumsi teh atau kopi.
Nah, hal ini pun saya terapkan kepada anak kedua saya yang picky eater. Dia tidak doyan semua jenis ikan tapi masih mau makan beberapa jenis sayur dan buah. Sehingga saya tidak pernah atau jarang sekali memberikan teh kepada putri kedua saya tersebut.
Alhamdulillah dia bisa tumbuh sehat meski makanannya kurang bervariasi. Saya berusaha agar dia mendapatkan sumber zat besi dari nabati dan benar-benar harus memperhatikan makanan penunjangnya.
Tentu saja saya juga wajib tahu makanan sumber vitamin C yang ada di sekitar kita. Seperti paprika merah, brokoli, jambu biji, kiwi, cabai, kelengkeng, strawberry, blewah, mangga, tomat, jeruk.
Upaya Penanganan Anemia Defisiensi Besi
Ibu hamil mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami anemia defisiensi zat besi. Untuk itu diperlukan penanganan yang serius juga. Pemerintah menggandeng puskesmas, keluarga, masyarakat, posyandu, dan fortifikasi makanan dan suplementasi besi folat.
Jika ibu sudah dalam tahap menyusui, upaya yang dilakukan pemerintah adalah konseling menyusui dan promosi menyusui.
Nah, sedangkan penanganan pada bayi dan balita dilakukan melalui pemantauan pertumbuhan, pemberian suplemen vitamin A, pemberian garam iodium, fortifikasi besi dan kegiatan suplementasi .
Penanganan pada anak usia sekolah dilakukan dengan pemberian makanan tambahan dalam bentuk kudapan yang aman dan bergizi. Misalnya susu pertumbuhan.
Remaja putri (rentang usia 10-19 tahun, WHO 2018) pun beresiko tinggi terkena anemia daripada remaja putra. Mengapa?
Pertama karena setiap bulan remaja putrid mengalami haid. Kedua karena untuk menjaga penampilan biasanya remaja putrid melakukan diet dan mengungai makan. Diet yang tidak seimbang dapat mengkibatkan kurangnya zat gizi dan salah satunya zat besi.
Nah, untuk menangani anemia defisiensi besi pada remaja putri pemerintah bekerjasama dengan dinas kesehatan, dinas pendidikan, persatuan orang tua murid di sekolah, dan organisasi lain yang bergerak di bidang pengentasan anemia. Kerjasama yang dilakukan dalam bentuk penyuluhan ksehatan reproduksi, konseling gizi, dan pemberian tablet fe.
Kesimpulan
Anemia Defisiensi Besi patut diwaspadai khususnya untuk ibu hamil. Pastikan asupan bergizi seimbang tentunya dengan tumpeng gizi seimbang atau isi piringku. Bila asupan didominasi sumber protein non heme pastikan dikonsumsi bersama dengan unsure yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi yaitu vitamin C.
Solusi lain untuk mengatasi Anemia Defisiensi Besi adalah dengan fortifikasi makanan melalui tepung terigu/beras, biskuit, susu. Serta tak lupa mematuhi konsumsi tablet tambah darah bagi penderita.
Beruntung saya yang pernah mengalami ADB saat hamil tidak sampai parah sehingga tidak terjadi komplikasi. Anak terlahir sehat karena saya juga mengonsumsi tablet penambah darah serta mematuhi anjuran dokter untuk meningkatkan asupan zat besi.