Kupandangi sebuah surat berwarna putih di tanganku. Pagi tadi saat aku hendak berangkat kuliah, Tante Ifa memberikannya. Surat yang ditulis oleh ibu di akhir hayatnya, sepuluh tahun yang lalu.
Ibu berpesan untuk memberikannya saat usiaku genap dua puluh tahun. Namun, setelah aku membacanya, justru dadaku bergemuruh. Mendung menyelimuti hatiku. Belum dapat kucerna dengan baik isi pesan dalam surat itu. Tetapi, aku yakin bahwa ibu punya maksud baik.
Sejenak, kupandangi sawah yang terbentang di hadapanku.
“Mas Adit, mau nggak?” Nadia berseru dari bawah samba lmenunjukkan sebuah kotak makan berwarna pink. Kulongokkan kepalaku untuk melihatnya lebih jelas.
Aku mengangguk mantap. Nadia lantas meniti anak tangga satu per satu. Setelah menginjak lantai rumah pohon aku menerima kotak makan berwarna pink yang diulurkannya. Aroma udang goreng membuat perutku memberontak lapar.
“Aku tahu kamu lapar. Kenapa nggak makan dulu?” tanya Nadia sambil mengambil sapu dan menyapu rumah pohonku yang tampak kotor. Aku hanya mengangkat bahu sambil menikmati bekal yang dibawanya.
Selain gadis bertubuh mungil itu, tidak ada lagi yang mau membersihkan rumah pohonku. Aku sendiri malas membersihkannya. Rumah pohon berukuran 2×3 meter ini terletak di dahan pohon kelengkeng ini tingginya dua setengah meter dari tanah. Tangganya dibuat dari tali yang disambungkan.
Dua tahun yang lalu, Om Arifin–ayah Nadia–yang membuat rumah pohon ini. Waktu itu aku suka sekali memanjat pohon kelengkeng dan duduk di dahannya. Lalu, Om Arifin membuat rumah pohon sebagai hadiah ulang tahunku.
Beratapkan daun rumbia, rumah pohon ini hanya ada satu ruangan tanpa jendela. Jadi bisa melihat ke sekeliling.
Nadia adalah putrid Tante Ifa, adik perempuan ibu. Nadia lah orang pertama yang kuajak kerumah pohon ini, selain Om Arifin tentunya. Sejak ibu tiada, om dan tanteku satu-satunya inilah yang memenuhi hampir semua keperluanku. Tetapi,baru tiga tahun yang lalu aku pindah untuk tinggal bersama mereka.
“Lebih baik kamu tinggal bersama Om dan Tante, Dit. Nenek juga bisa ikut kalau mau, masih ada dua kamar kosong kok. Pasti Nadia senang kalau kamu tinggal di Malang, kalian bisa ke kampus bersama.” Tante Ifa berusaha membujukku. Aku sangat bersyukur memiliki om dan tante yang baik hati.
“Mas! Siang-siang jangan ngelamun, donk!” Suara lembut Nadia membuyarkan lamunanku. Melihat parasnya seperti melihat masa muda ibu, cantik dan lembut. Aku sesring heran, kenapa Nadia lebih mirip Ibu daripada Tante Ifa.
“Nad, kamu nggak dicari tante?” Aku mencari bahan pembicaraan. Biasanya jam segini Nadia membantuTante Ifa menjaga toko.
“Kata ibu, Mas Adit nggak mampir untuk makan siang tadi. Terus aku pamit untuk mengantarkan makan siangmu.” Wajah Nadia bersemu merah, mungkin kepanasan saat menempuh perjalanan kemari.
“Mas, selamat ulang tahun,” ucap gadis manis berpipi tembam itu. Dia selalu tampak manis dan penuh semangat di mataku.
Aku mendongak, berhenti mengunyah. Diam-diam rasa haru dan bahagia menyusup dihatiku.
“Semoga cita-citamu terkabul,” imbuhnya sambil tersenyum lebar. Disambarnya udang goreng yang akan kumasukkan mulut.
“Selamat ulang tahun juga, Nad” jawabku sambil menodongkan tangan, “Hadiahnya mana?”
Gadis berkulit bersih itu tertawa hingga tubuhnya bergetar. “Itu yang kamu makan, anggap saja hadiah dariku,” imbuhnya. Lalu, balik bertanya “Kalau hadiahku mana?”
Tawa kami meledak. Aku tahu dia hanya bercanda karena kami tak pernah bertukar kado. Bagi kami, saling mendoakan lebih baik dari pada bertukar kado.
Meskipun kami lahir pada hari, tanggal, dan bulan yang sama. Namun,gadis berambut lurus sebahu itu selalu lebih dulu mengucapkannya. Tidak, tidak, bukan begitu. Sebenarnya, aku saja yang malu untuk mengucapkannya pertama kali.
Hingga akhirnya aku ingin mendengar Nadia mengucapkannya lebih dulu. Seperti hari ini, aku sengaja menunggu ucapan selamat darinya, sejak bangun tidur tadi. Seperti seorang kakak yang menantikan perhatian adiknya.
“Nad, apakah kamu masih bercita-cita menjadi guru Bahasa Indonesia?” Aku membuka percakapan setelah meneguk air putih kemasan di sebelahku.
Dia menoleh dan mengangguk. “Kalau Mas Adit? Apakah masih ingin jadi menjadi petani?”
Aku tertawa, gemas dengan pertanyaannya.Tak kusangka dia masih ingat cita-citaku sejak kecil. Aku ingin seperti Ibu yang menanam padi di sawah. Kata Ibu, petani itu pahlawan. Coba kalau nggak ada petani? Apa bisa orang-orang makan nasi?
“Cita-citaku selalu berada di sampingmu dan menjagamu, Nad.” Mata bulat Nadia memandangku, entah apa yang ada di pikirannya.
Membuat jantungku serasa berhenti berdetak dan teringat isi surat wasiat ibu.
Aditya Anakku
Bagaimana kabarmu, Nak? Pasti kamu sudah gede dan ganteng seperti bapakmu. Jika Tante Ifa benar-benar melaksanakan amanah Ibu, saat ini kamu sudah berumur 20 tahun. Itu berarti kamu sudah pantas membaca surat Ibu ini dan bisa melaksanakan amanah ibu dengan baik.
Nak, sebelumnya maafkan ibu yang menyembunyikan sebuah kenyataan darimu. Sebenarnya, Nadia adalah adik kembarmu. Menurut nenekmu, anak kembar laki-laki dan perempuan itu sudah berjodoh sejak dalam kandungan. Kalian adalah anugerah sehingga harus dinikahkan.
Makanya ibu memisahkan kalian berdua agar tidak kenal dekat sehingga kalian bisa menikah. Hanya itu pesan ibu, Nak. Semoga kamu bisa melaksanakan amanat ini dengan baik dan melanjutkan tradisi di keluargakita.
Salam sayang, Ibu.
“Mas, yuk,pulang. Hari semakin sore, jangan sampai ibu memarahi kita karena keasikan disini.” Nadia beranjak dari tempat duduknya.
Aku berdiri sejajar dengannya, mengacak-acak rambut gadis kecilku. Membuat matahari malu-malu melihat keakraban kami dan segera membenamkan diri dalam senja.
Kupandangi sejenak wajah imut adik kecilku. Terjawab sudah penasaranku, mengapa wajahnya lebih mirip Ibu daripada Tante Ifa.
Semoga kamu menemukan jodoh yang soleh dan bisa membimbingmu dalam hal agama, dunia dan akhirat.
Kuremas surat wasiat ibu yang telah kusut di dalam saku celanaku dan kulempar ke parit saat turun dari rumah pohon. Seketika beban di hatiku sirna, musnah bersama leburan surat ibu.
3 Komentar. Leave new
Wah keren ceritanya, semangat terus mba 🔥
makasih mbak
Wow, aku kaget sampai baca Dua kali isi suratnya. Ini kebiasaan di daerah mana mbak? Dalam Islam kan menyalahi aturan.